Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lamaran Ditolak Karena Miskin, Pemuda Ini Nekat Bilang 'Izinkan Saya ZiNna Dengan Anakmu'

   


Lamaran Ditolak Karena Miskin, Pemuda Ini Nekat Bilang 'Izinkan Saya Zina Dengan Anakmu' -Sebuah kisah inspirasi yang dibagikan oleh pengguna Facebook bernama Salim Al-Hasyimy mengenai pernikahan menjadi perbincangan netizen di sosial media dan berbagai forum di dunia maya.

Lamaran Ditolak Karena Miskin, Pemuda Ini Nekat Bilang 'Izinkan Saya Zina Dengan Anakmu'
Ilustrasi


Sang gadis adalah seseorang yang telah disukainya sejak masih di bangku SMA. Namun mereka hanya sebatas bersahabat, tidak ada ikatan apapun.
Berikut kisah lengkapnya:

Pemuda : Assalamualaikum.

Ayah Gadis : waalaikumussalam!

Mendengar lantangnya suara Ayah si gadis, si pemuda kaku membatu. Lantas si gadis mempersilahkan sahabat sekolahnya itu untuk duduk di kursi ruang tamu.

Gadis : Mari, silahkan duduk

Pemuda : eh.,iyaa
Setelah mengucapkan salam dan berjabat tangan, duduklah si Pemuda di kursi yang hampir menghadap Ayah si gadis. Hanya koran yang menjadi ‘sitroh’ antara mereka.

Hampir 5 menit suasana senyap tanpa suara. Dan ibu si gadis keluar dari ruang belakang membawa air dan kue kering. Si Pemuda pun tersenyum manis.


Ibu Gadis : Silahkan diminum dulu nak. Kamu sudah sarapan?

Pemuda : Sudah Bu. Terima kasih.

Ibu Gadis : kamu ini malu-malu segala dengan kami.

Pemuda : saya hanya segan Bu. Hehe

Ayah Gadis : Maaf, saya lihat kamu ini sudah sering kemari, kapan kamu mau mengirim rombongan (lamaran)?

Ibu Gadis : eh, ayah ini?

Pemuda : Hmm. Saya belum memiliki banyak uang Pak. Hehe

Ayah Gadis : Ya kumpulin dulu dong, baru nanti kesini lagi.

Pemuda : bapak dan ibu ingin saya menyediakan uang berapa untuk lamaran ini?

Ibu Gadis : kalau bisa Rp.20.000.000,-

Ayah Gadis : ehh, tapi kalau bisa lebih besar dari orang sebelah yang naksir juga sama gadis.

Pemuda : Maaf, Berapa itu Bu?

Ayah Gadis : Rp.40.000.000,- syukur-syukur bisa lebih

Pemuda : (Ya Allah, whhooa.. Rp.40.000.000,- darimana saya dapat uang sebanyak itu, aduh) Besar sekali Pak, apakah tidak bisa lebih sedikit, kita buat acara sederhana saja. Cukup mengudang keluarga, saudara dan tetangga dekat?


Ayah Gadis : itu nasib kamu nak, kamu yang akan menikahi anak kami. Lagipula dialah satu-satunya anak perempuan kami.

Si Pemuda pun hampir hilang akal ketika disebutkan ‘harga’ si gadis itu. Dan si Pemuda mencoba kembali berdiskusi dengan orang tua gadis pujaan hatinya.

Pemuda : Boleh saya bertanya lagi, apakah anak bapak pandai memasak?

Ayah Gadis : Hmm,.boro-boro. Bangun tidur saja jam 10 lebih, bukan bangun pagi lagi itu. Habis bangun terus langsung makan siang.

Ibu Gadis : Apa sih ayahnya ini, anaknya mau dijadikan istri, dia malah cerita yang jelek-jelek.

Ayah Gadis : Ibunya pun sama suka terlambat bangun juga.

Ibu Gadis : ih ayah ini!

Pemuda: (bengong) Ehh.. iya cukup pak, sekarang saya sudah tau. Kalau boleh bertanya lagi, bisa kah dia membaca Qur’an?

Ibu Gadis: bisa sedikit-sedikit kok

Pemuda : belajar dengan maknanya?

Ibu Gadis : mungkin.

Pemuda : Hmm.

Ibu Gadis : kenapa?

Pemuda : Oh, tidak apa – apa bu. Pertanyaan terakhir, apakah dia rajin sholat?

Ayah Gadis : Apa maksud kamu tanya semua ini !? Kamu kan temannya sejak di sekolah. Harusnya kamu sudah tahu.


Pemuda : Maaf Bapak dan Ibu, Saya rasa dia tak bisa masak, tak bisa sholat, tak bisa mengaji, tak bisa menutup aurat dengan baik. Sebelum dia menjadi istri saya, dosa-dosanya juga akan menjadi dosa bapak dan ibu. Lagipula tak pantas rasanya dia dihargai Rp.40.000.000,-. Kecuali dia hafidz Qur’an 30 juz dalam kepala, pandai menjaga aurat, diri, dan batasan-batasan agamanya. Barulah dengan mahar Rp.100.000.000,-pun saya usahakan untuk membayar.

Tapi jika segala sesuatunya tidak harus dibayar mahal mengapa harus dipaksakan untuk dibayar mahal ? Seperti halnya mahar. Sebab sebaik-baik pernikahan adalah serendah-rendah mahar.

Mata ayah si gadis direnung tajam oleh mata ibu si gadis. Keduanya diam tanpa suara.

Sekarang ketiganya menundukkan kepala. Memang sebagian adat menjadikan anak perempuan untuk dijadikan objek pemuas hati menunjukkan kekayaan dan bermegah-megah dengan apa yang ada, terutama pada pernikahan. Adat budaya memang kerap mengalahkan perkara agama. Para orang tua membiarkan bahkan menginginkan anak perempuan dihias dan dibuat pertunjukkan di muka umum.

Sedangkan pada saat akad telah dilafadz oleh suami, segala dosa anak perempuan sudah mulai ditanggung oleh si suami.

Ayah Gadis : Aku hanya ingin anakku bahagia dengan merasakan sedikit kemewahan. Hal seperti tu kan hanya terjadi sekali seumur hidup.


Pemuda : Bapak ingin anak bapak merasakan kemewahan?

Ibu Gadis : tentulah kami berdua pun turut gembira.

Pemuda : sungguh demikian? boleh saya sambung lagi? bapak, ibu.. saya bukanlah siapa – siapa. Sekarang dosa anak Bapak, Bapak juga yang tanggung. Esok lusa setelah akad nikah terus dosa dia saya yang tanggung.

Belum lagi pasti bapak dan ibu ingin kami bersanding lama di pelaminan yang megah, anak Ibu dirias dengan riasan secantik-cantik­nya dengan make up dan baju paling mahal, di hadapan ratusan undangan agar kami terlihat mewah pula. Salain setiap mata yang memandang kami akan mendapat dosa. Apakah begitu penting hal tersebut jika dalam kehidupan sehari-hari kita malah berusaha untuk hidup sesederhana mungkin tanpa berlebih-lebihan.

Ibu si gadis segera mengambil langkah mudah dengan menarik diri dari pembicaraan itu. Si ibu tahu, si pemuda berbicara menggunakan fakta islam. Dan tidak mungkin ibu si gadis dapat melawan kata si pemuda itu.

Ayah Gadis : Kamu mau berbicara mengajari masalah agama di depan kami?

Pemuda : ehh. maaf pak. Bukan saya hendak berbicara / mengajari masalah agama. Tapi itulah hakikat. Terkadang kita terlalu memandang pada adat sampai lupa agama.

Ayah Gadis : sudah lah. Kamu sediakan Rp.40.000.000,- kemudian kita bicarakan lebih lanjut. Kalau tidak ada, kamu tak bisa menikahi anakku!

Pemuda : Semakin lama lah hal itu. Mungkin di umur saya 30 atau lebih, saya baru bisa mengumpulkan uang tersebut dan bisa masuk meminang anak bapak.